Sumur Agung Kiai Agung Rabah menjadi sejarah Desa Dasok Kecamatan Pademawu
Penamaan
tempat di Madura memang tidak bisa lepas dari tokoh-tokoh tempo doeloe.
Cerita-cerita rakyat atau folklore memang menjadi seni dalam penulisan sejarah.
Meski hal itu masih membuktikan banyak penelusuran lebih lanjut, namun sebagai
peninggalan dari kearifan lokal, tentu masih sulit dilepaskan.
Seperti nama dua desa di kawasan Gerbang salam ini. Kisahnya masih terkait
dengan sosok Pakunya Madura di abad 17. Dua desa itu ialah Dasok dan Murtajih. Dasok adalah nama desa di Kecamatan
Pademawu Pamekasan. Asal muasal nama Desa ini tidak terlepas dari kisah Kiai Abdurrahman atau Kiai Agung
Rabah.
Dalam buku “Kiai
Agung Rabah, Rabah dan Sejarahnya”, konon desa ini menjadi tempat yang dipilih
Kiai Agung Rabah untuk transit (beristirahat), dan melakukan kewajiban sholat
dalam perjalannya dari Rabah menuju Sumenep. Ini terbukti ditemukannya sebuah
sumur dan petilasan tempat beliau sholat, yang diriwayatkan secara turun
temurun. Sumur dan petilasan sholat itu disebut sebagai peninggalan Kiai Agung
Rabah. Kedua peninggalan itu sampai sekarang masih ada.
Kisahnya, di suatu waktu, sang wali agung dalam perjalanan itu tidak
menemukan air. Air tersebut bukan sekadar untuk menghilangkan dahaga, melainkan
juga untuk keperluan mengambil wudlu’ guna melaksanakan sholat. Nah, Kiai
Abdurrahman lantas menggali tanah dengan tangan beliau sendiri hingga keluarlah
sumber mata air. Galian tersebut kemudian dijadikan sumur oleh beliau.
Di masa mendatang, masyarakat menamai sumur itu dengan nama Sumur Agung.
Penamaan itu tidak terlepas dari penggalinya, yakni Kiai Agung Rabah. Sebagai
bukti bahwa sumur itu peninggalan waliyullah yang diperuntukkan keperluan
ibadah dan rumah tangga, air sumur itu tidak pernah kering sampai sekarang.
Hingga kini sumur
itu masih terawat, dan sumber mata airnya menjadi sumber penghidupan warga di
tempat itu, terutama untuk keperluan minum, mandi dan mencuci. Menurut
keterangan bapak Ali Makki selaku pemangku yang merawat dan menjaga Sumur
Agung, air Sumur Agung tidak bisa digunakan untuk menyiram tanaman secara
langsung, karena berakibat tanamannya tidak akan tumbuh dengan baik, kecuali
sisa dari mandi dan mencuci.
Di antara peristiwa di daerah ini, suatu waktu, Kiai Agung Rabah
melaksanakan sholat di petilasan berupa batu menyerupai sajadah. Selesai
sholat, tonggulan (bakiak) beliau hilang. Maka dicarilah
bakiak tersebut dengan membersihkan (arabas) semak belukar di tempat itu,
hingga di daerah tersebut ada nama tempat Rabasan. Beliau membersihkan sambil
keluar masuk semak belukar (bahasa Maduranya nyongap, sehingga
tempat tersebut dinamai Congaban).
Akhirnya bakiak itu beliau ditemukan di dalam semak belukar (bada e
panyalosso’ dalam ombut). Yang karena peristiwa ini daerah tersebut
dinamakan Dasok, diambil dari kata so’ nyalosso’ ke dalam
semak belukar.
Setelah bakiak tersebut ditemukan, beliau yang terkenal mandi pangocap pun
berkata; “pettong toron oreng dinna’ reya tak kera bada oreng se
molja” (tujuh turunan orang yang ada di sini tidak akan ada orang
yang mulia).
Berdasarkan riwayat dari Kiai Ali Makki, yang dibenarkan oleh Kiai
Shiddiq, salah seorang tokoh masyarakat, kisah tersebut terbukti. Menurut kedua
kiai itu, memang daerah Dasok tersebut tidak ada seorangpun yang menonjol dalam
bidang pengetahuan keagamaannya, hingga tujuh turun sejak masa Kiai Agung
Rabah.
Diceritakan pula bahwa selama bermukim di alas Rabah, Kiai Agung
Rabah banyak menyisakan peninggalan, yang lantas dijadikan nama tempat.
Beliau pernah membuat sumur di wilayah utara alas Rabah, dan sumur itu beliau
beri tanda tajih.
Akhirnya dimana tempat sumur yang diberi tanda tajih itu
kemudian masyarakat memberi nama daerah itu Murtajih. Hingga kini Murtajih ini
menjadi nama sebuah desa dan letaknya memang di sebelah utara Rabah. (Repost
MataMaduraNews)
Post a Comment